Thursday, March 11, 2010

Hadis-Hadis Sekadar Renungan

Sabda Rasulullah saw. :

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص "إِنَّ اللهَ يُحِبُّ اَنْ تُؤْتَي رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ اَنْ تُؤْتَي مَعْصِيَتُهُ"

Dari Ibnu Umar, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “ Sesungguhnya Allah senang keringanan hukum-Nya itu diamalkan, sebagaimana Dia benci larangan-Nya itu dikerjakan.” H.R. oleh Ahmad

JARAK QASAR SEMBAHYANG ( Dari artikel gayat )

Jarak yang membolehkan kita meng-qasar sembahyang

(1) Ulama menyatakan bahawa terdapat lebih dari 20 mazhab atau pendapat tentang jarak jauh perjalanan dibenarkan kita meng-qasar sembahyang. namun, menurut Syed Sabiq, tidak ada satu hadispun yang menyebutkan had jauh atau dekatnya perjalanan musafir.

(2) Beliau menyatakan bahawa dalil dan hujah yang kuat menunjukkan tidak ada batas jauh perjalanan. Boleh mengqasar sembahyang tidak kira perjalanan itu jauh ataupun dekat. Asalkan menurut bahasa ia dinamakan musafir.

(3) Perincian pembahasan dalil dan hujah dapat dilihat dalam petikan kitab Feqhussunnah berikut:

II. JARAK BOLEHNYA MENGQASHAR

Menurut ayat tersebut di atas dapat diambil keterangan bahwa pada setiap bepergian, pendeknya apa yang dikatakan menurut bahasa bepergian, biar jauh ataupun dekat, boleh dilakukan mengqashar itu. Selain itu boleh pula dilakukan jama serta berbuka - yakni tidak melakukan puasa wajib - Tidak sebuah haditspun yang menyebutkan batas jauh atau dekatnya bepergian itu. Ibnul Mundzir dan lain-lain ulama menyebutkan lebih dari duapuluh pendapat tentang masalah ini. Di sini akan kita cantumkan yang lebih kuat yaitu:

Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Baihaqi meriwayatkan dan Yahya bin Yazid, katanya:
Saya bertanya kepada Anas bin Malik perihal mengqashar shalat. Ujarnya: Rasulullah s.a. w. bersembahyang dua rak at kalau sudah keluar sejauh tiga mil atau tiga farsakh.

Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Al-Fath bahwa inilah hadits yang paling sah dan paling tegas menjelaskan jarak bepergian yang dibolehkan mengqashar itu.

Keragu-raguan mengenai soal mil atau farsakh dapat diberi penjelasan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said al Khudri, katanya:

Apabila Rasulullah s.a.w. bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar shalat. (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur dan disebutkan oleh Hafizh dalam At-Talkhish, dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya).
(Nota: Hadis ini telah dikatakan dhaif oleh Muhaddith ulung Sheikh Albani-Lihat penjelasan lebih lanut kemudian)*

Sebagai diketahui satu farsakh itu sama dengan tiga mil. Maka hadits Abu Sa'id ini cukup menghilangkan keragu-raguan yang terdapat dalam hadits Anas, dan menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. telah melakukan qashar jika beliau bepergian dalam jarak sedikit-dikitnya sejauh tiga mil. Satu farsakh ialah 5541 meter sedang satu mil 1748 meter.

Ada pula yang menyatakan bahwa sedikitnya jarak mengqashar itu ialah satu mil, dan hadits yang menjadi alasannya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang sah dari lbnu Umar. Pendapat inilah yang dianut oleh lbnu Hazmin, dan sebagai alasan bahwa tidak boleh mengqashar bila kurang dari 1 mil, dikemukakannya bahwa Nabi s.a.w. pergi ke Baqi untuk menguburkan orang-orang yang meninggal dan keluar ke suatu padang untuk membuang hajat, tapi shalatnya tidak diqasharnya. Adapun syarat yang dikemukakan oleh para ahli fikih bahwa boleh mengqashar itu hanyalah pada perjalanan jauh, dengan jarak sekurangnya dua atau tiga marhalah - ada dua pendapat -, maka untuk menolaknya cukuplah uraian yang dikemukakan oleh Imam Abu Kasim al-Kharqi dalam buku Al-Mughni, katanya:

Saya tak dapat menemukan alasan dalam pendapat Imam-Imam itu, sebab keterangan-keterangan dari para sahabat juga saling bertentangan hingga karenanya tak dapat dipakai sebagai hujjah atau dalil. Dan sebagai diketahui, pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menyalahi pendapat mereka, dan umpama menyetujuinya, tapi ucapan para sahabat itu taklah dapat diambil alasan di depan ucapan Nabi dan perbuatan beliau. Dengan demikian tidaklah dapat diterima ukuran jauh yang mereka sebutkan itu disebabkan dua hal:

Pertama karena menyalahi sunnah Nabi s.a.w. yang tersebut dulu.

Dan kedua karena lahirnya/zahir firman Allah Taala membolehkan qashar bagi orang yang dalam perjalanan sbb.:

Apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tak ada salahnya jika kamu mengqashar shalat.

Syarat karena takut sudah dapat dihilangkan dengan hadits Yala bin Umaiyah. Maka tinggallah lahir ayat itu yang mencakup segala macam bepergian, pendeknya asal sudah disebut bepergian.

Mengenai sabda Nabis s.a.w. yang membolehkan seorang musafir itu mengusap khuf atau sepatunya selama tiga hari, maka hadits itu hanya menyatakan lama bolehnya menyapu. hingga tak mungkin diterapkan dalam masalah ini, sebab soalnya berlainan. Lagi pula bepergian jarak dekat dapat saja ditempuh dalam tiga hari, sedang ini oleh Nabi s.a.w. masih dinamakan bepergian juga, sebagai sabda beliau:

"Tidaklah halal bagi seurang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, bepergian selama sehari perjalanan kecuali dengan muhrimnya.

Kedua, menetapkan batas ukuran itu tidaklah dapat hanya dengan pendapat manusia semata tanpa dasar atau persamaan yang dapat dikiaskan. Maka alasan yang kuat berada di pihak orang yang membolehkan qashar bagi setiap musafir, kecuali bila ijma menentangnya. Dan dalam hal ini tak ada bedanya bepergian itu dengan kapal terbang, kereta api dll., juga baik perjalanan itu dengan tujuan menunaikan perintah Allah atau untuk maksud maksud lain. Dan termasuk pula dalam bepergian, orang-orang yang usaha atau matapencariannya mengharuskannya selalu berada dalam perjalanan, seperti pelaut, konduktur kereta api dll, sebab pada hakekatnya itu juga berarti bepergian. Oleh sebab itu ia boleh mengqashar, berbuka puasa dll.


Beberapa pendapat ulama Saudi mengenai 'jarak' perjalanan

Sheikh Saleh Munajjid mengatakan bahawa jumhur ulama' yang terdiri dari Maliki, Hanbali dan Syafie telah berpendapat mengambil 'jarak' perjalanan yang diambil semasa perjalanan bagi menqasarkan solat adalah sebanyak 4 burud, yang lebih kurang perjalanan 2 hari dengan unta yang membawa muatan penuh (bersamaan 88.7 km). Mereka telah memetik hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Omar dan Ibnu Abbas yang menqasarkan solat dan berbuka puasa didalam perjalanan 4 Burud. Petikan jarak ini adalah secara anggaran dan bukanlah had yang tepat sebagaimana jumhur ulama', maka kemungkinan ia kurang daripada itu.

Beberapa ulama seperti Ibnu Qadama, Sheikh Al-islam Ibnu Taimiyyah dan anak muridnya Ibnu Al-Qayyim telah mengambil pandangan bahawa ia merujuk kepada perjalanan secara amali dan juga bahasa. Justifikasi ini pada umumnya merujuk kepada menqasar solat sebagaimana yang terdapat didalam Al-Quran dan Sunnah, contohnya surah Al-Nisaa' 101-102.

Menurut Sheikh Saleh Munajjid bahawa ayat tersebut merujukkan kepada keizinan menqasarkan solat tanpa memberitahu secara spesifik mengenai had jaraknya. Al-Quran dan Sunnah menyebut 'perjalanan' dan tidak membeza satu perjalanan yang tertentu dari yang lain. Contohnya jika seorang itu perjalanannya menggunakan udara selama 1 jam tanpa apa-apa kesusahan atau beban diizinkan mengqasarkan solat dan berbuka puasa fardu. Secara fakta, pandangan ini lebih baik, melainkan jika terdapatnya kekeliruan sama ada ia dianggap perjalanan atau tidak, maka dengan itu ia jatuh kembali kepada pandangan jumhur ulama' berkenaan dengan jarak minima yang diperlukan.

Menurut seorang lagi ulama Saudi, yang juga bekas Mufti Saudi, Sheikh Muhammad ibnu Saalih Utsaimin didalam bukunya Ilaam al-Musaafireen bi Bad Aadaab wa Ahkaam al-Safar wa maa yakhuss al-Mallaaheen al-Jawwiyyeen, halaman 5, beliau juga memilih jarak perjalanan sebagai kaedah yang lebih mudah untuk diamalkan walaupun dari segi 'uruf atau budaya setempat adalah lebih tepat. Kata beliau:

"beberapa ulama berpendapat bahawa perjalanan didefinasikan dengan jarak diantara 81 dan 83km atau lebih. Ada yang berpendapat bahawa perjalanan didefinasikan oleh 'uruf, jadi apa-apa yang dikatakan sebagai perjalanan menurut budaya setempat dianggap sebagai perjalanan, walaupun tempat itu berdekatan, dan apa-apa yang dianggap sebagai bukan perjalanan, tidak dikira sebagai perjalanan. Ini adalah pandangan yang dipilih oleh Sheikul Islam Ibnu Taimiyyah, dan ia lebih benar dari pandangan dalil (bukti), tetapi sukar untuk di praktikkan, kerana seseorang boleh menganggap sesuatu trip itu sebagai perjalanan sementara orang lain mengatakan tidak. "


Kata Utsaimin lagi :

"Tetapi definasi yang berdasarkan kepada jarak adalah lebih tepat dan jelas kepada manusia. Jika dipersetujui sesuatu perjalanan berdasarkan kedua-dua jarak dan 'uruf, maka disana tidak perlu dibahaskan. Jika terdapatnya perbezaan diantara jarak dan 'uruf, maka seseorang itu harus mengambil tindakan menurut mana pandangan yang lebih selamat."

Sheikh Abdul Aziz Bin Baaz, yang juga bekas Mufti Saudi, didalam buku Fatawaa Islamiyyah, 1/400 dan Majmu' fatawa Bin Baaz 4/457, beliau mengamalkan jarak sebagai penentu menqasarkan solat dan berbuka puasa. Didalam menjawab soalan seorang yang bermusafir sejauh 100km apakah beliau boleh menjama' dan menqasarkan solat, beliau menjawab :

"Jika seseorang bermusafir 100km dari bandarnya, atau lebih kurang jaraknya, sesungguhnya diboleh melakukan hukum musafir dengan menqasarkan solatnya, atau tidak berpuasa, menjama'kan solat-solatnya dan menyapu khuf (berwudhu') selama 3 hari, kerana jarak ini dianggap sebagai perjalanan. Begitu juga jika perjalanan 80km atau lebih kurang; yang dianggap sebagai jarak yang membolehkan solat dipendekkan menurut jumhur ulama'"


*Tambahan

Petikan dari Tamamul Minnah:

Mu'alif (Syed Sabiq) berkata mengenai masalah al-qasar (jarak ketetapan qasar):

Keragu-raguan mengenai soal mil atau farsakh dapat diberi penjelasan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said al Khudri, katanya:

Apabila Rasulullah s.a.w. bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar shalat. (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur dan disebutkan oleh Hafizh dalam At-Talkhish, dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya).

Saya berkata (Sheikh Al-Albani): Mu'alif terjebak oleh berdiam dirinya Al-Hafidz dan didahului oleh Al-Shan'ani didalam Subul as-Salam dan Al-Syaukani didalam as-Sail al-Jarrar (I/307). Adapun dalam Nailoor Authar, Al-Syaukani meragukan kesahihannya. Kemudian beliau (Al-Syaukani) mengatakan (III/176):

"Al-Hafidz didalam Al-Talkhish menyampaikan tetapi tidak menjelaskannya. Jika hadis itu sahih, maka farsakh itulah yang ditetapkan dan solat tidak diqasarkan dalam (perjalanan) yang berjarak kurang dari satu farsakh jika itu sudah disebut safar (berpergian) baik secara bahasa mahupun syari'e."

Saya berkata (Sheikh Al-Albani) : Bagaimana hadis ini sahih jika didalam sanadnya ada Abu Harun al-'Abdi. Dia - kata al-Hafidz didalam at-Taqrib - matruk (tertinggal) dan ada pula yang menganggapnya sebagai pembohong.

Saya (Sheikh Al-Albani) telah mentakhrijkannya didalam al-Irwa' (III/15) dari riwayat sejumlah besar para penulis dari Abu Harun. Lihat al-Irwa' kepada mereka yang berminat.

Dalam hal ini ada faktor yang menguatkan untuk tidak boleh mudah terjebak oleh berdiam dirinya Al-Hafidz mengenai hadis, agar tidak muncul anggapan bahawa hadis ini sahih, walaupun didalam al-Fath karya beliau yang paling bersih dari hadis-hadis da'if. Beruntunglah al-Hafidz kerana tidak mencatatkan hadis ini didalam al-fath.

Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu menerangkan:



جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ. فَقِيلَ لابْنِ عَبَّاسٍ: مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjamak sembahyang Zuhur dan Asar serta Maghrib dan Isyak di Madinah (bukan dalam musafir), bukan kerana dalam ketakutan atau hujan.” Lalu orang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat sedemikian?” Jawabnya: “Baginda bertujuan agar tidak menyukarkan umatnya.”
[Hadis riwayat Imam Abu Dawud dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, Kitab al-Shalah, hadis no. 1211]
Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan:

Hadis ini tidaklah seperti apa yang disangka oleh banyak para penuntut ilmu bahawa sembahyang (jamak) itu boleh dilakukan bila-bila sahaja tanpa pertimbangan dan tanpa alasanpun… Tetapi jika ada sesuatu yang memberatkan untuk dilaksanakan sembahyang pada waktunya maka ketika itu boleh baginya menjamak sembahyang demi menghilangkan kesulitan tersebut ; baik berupa jamak taqdim ataupun ta’khir. Sesungguhnya alasan syar’i dari sembahyang jamak ini adalah untuk menghilangkan kesulitan dari kaum Muslimin. Maka jika tidak ada kesulitan tidak boleh jamak, dan wajib bagi kita memahami hadis di atas secara sempurna. Dan kesempurnaan hadis tersebut adalah sebagai berikut: Lalu orang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Kenapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat sedemikian?” Jawabnya: “Baginda bertujuan agar tidak menyukarkan umatnya.” Dengan adanya sembahyang jamak yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan mukim dan tanpa uzur turunnya hujan bukan bererti semua orang boleh menjamak sembahyang tanpa adanya kesulitan. [Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Fatwa-Fatwa Albani, (Edisi terjemahan oleh Adni Kurniawan, Pustaka At Tauhid, Jakarta 2002), ms. 88-89.]

-dipetik dari buku Akob, SEMBAHYANG JAMAK

DAN QASAR ADALAH

SEDEKAH ALLAH


Wallahu A'lam

No comments: